Tari Ronggeng
Sejarah
Tarian Ronggeng
Kata
folklore merupakan pengindonesiaan dari bahasa Inggris folklore, berasal dari
dua kata folk dan lore. Kata folk berarti
sekelompok orang yang memiliki ciri pengenalan fisik, sosial dan kebudayaan
sehingga dapat dibedakan dari kelompok sosial lain. Kata lore merupakan
tradisio dari folk, yaitu sebagai kebudayaan yang diwaariskan secara lisan atau
melalui salah satu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu
pengingat. Folklor adalah bagian dari kebudayaan yang disebarkan atau
diwariskan secara tradisional baik dalam bentuk lisan maupun yang disertai
isyarat atau alat bantu pengingat. Tarian merupakan foklor sebagai lisan, yang
artinya folklor yang benruknya merupakan campuran unsur lisan dan bukan lisan.
Folklor ini juga dikenal sebagai fakta sosial. Tari Ronggeng merupakan salah
satunya.
Ronggeng adalah jenis
kesenian tari yang berkembang di
Tatar Pasundan atau Jawa di mana pasangan saling bertukar ayat-ayat puitis saat mereka menari diiringi musik dari rebab atau biola dan gong. Ronggeng mungkin berasal dari Jawa, tetapi juga dapat ditemukan diSumatra dan Semenanjung
Malaya.
Ciamis
adalah suatu daerah yang ada di Jawa Barat. Di sana ada tarian khas yang
bernama “Ronggeng Gunung”. Ronggeng Gunung sebenarnya masih dalam koridor
terminologi ronggeng secara umum, yakni sebuah bentuk kesenian tradisional
dengan tampilan seorang atau lebih penari. Biasanya dilengkapi dengan gamelan
dan nyanyian atau kawih pengiring. Penari utamanya adalah seorang perempuan
yang dilengkapi dengan sebuah selendang.
Ada
beberapa versi tentang asal-usul tarian yang tumbuh dan berkembang di kalangan
masyarakat Ciamis Selatan (masyarakat: Panyutran, Ciparakan, Burujul,
Pangandaran dan Cijulang) ini. Versi pertama mengatakan bahwa Ronggeng Gunung
diciptakan oleh Raden Sawunggaling. Konon, ketika kerajaan Galuh dalam keadaan
kacau-balau karena serangan musuh, Sang Raja terpaksa mengungsi ke tempat yang
aman dari kejaran musuh. Dalam situasi yang demikian, datanglah seorang
penyelamat yang bernama Raden Sawunggaling. Sebagai ungkapan terima kasih atas
jasanya yang demikian besar itu, Sang Raja menikahkan Sang Penyelamat itu
dengan putrinya (Putri Galuh). Kemudian, ketika Raden Sawunggaling memegang
tampuk pemerintahan, beliau menciptakan tarian yang bernama Ronggeng Gunung
sebagai sarana hiburan resmi di istana. Penarinya diseleksi ketat oleh raja dan
harus betul-betul mempunyai kemampuan menari, menyanyi, dan berparas cantik,
sehingga ketika itu penari ronggeng mempunyai status terpandang di lingkungan
masyarakat.
Versi
kedua berkisah tentang seorang puteri yang ditinggal mati oleh kekasihnya.
Siang dan malam sang puteri meratapi terus kematian orang yang dicintainya.
Selagi sang puteri menangisi jenasah kekasihnya yang sudah mulai membusuk,
datanglah beberapa pemuda menghampirinya dengan maksud untuk menghiburnya. Para
pemuda tersebut menari mengelilingi sang puteri sambil menutup hidung karena
bau busuk mayat. Lama-kelamaan, sang puteri pun akhirnya ikut menari dan
menyanyi dengan nada melankolis. Adegan-adegan tersebut banyak yang menjadi
dasar dalam gerakan-gerakan pada pementasan Ronggeng Gunung saat ini.
Versi
ketiga yang ditulis oleh Yanti Heriyawati dalam tesisnya yang berjudul “Doger
dan Ronggeng, Dua Wajah Tari Perempuan di Jawa Barat”. Versi ini menyatakan
bahwa kesenian Ronggeng Gunung berkait erat dengan kisah Dewi Samboja
(www.korantempo.com). Dewi Samboja adalah puteri ke-38 dari Prabu Siliwangi
yang bersuamikan Angkalarang. Konon, suatu saat suami sang Dewi yaitu
Angkalarang mati terbunuh oleh Kalasamudra (pemimpin bajak laut dari seberang
lautan). Dewi Samboja sangat bersedih hatinya karena suami yang dicintainya
telah meninggal dunia dan ia sangat marah kepada Kalasamudra yang telah
membunuh suaminya. Untuk menghilangkan kesedihan dan sekaligus kemarahan
puterinya atas kematian Angkalarang, maka ayahandanya, yaitu Prabu Siliwangi
memberikan wangsit kepada Dewi Samboja. Isi wangsit tersebut adalah bahwa untuk
dapat membalas kematian Angkalarang dan membunuh Kalasamudra, Dewi Samboja
harus menyamar sebagai Nini Bogem, yaitu sebagai seorang penari ronggeng
kembang. Dan, berdasar wangsit itulah, Dewi Samboja mulai belajar menari
ronggeng dan seni bela diri. Singkat cerita, pergelaran ronggeng di tempat
Kalasamudra pun terjadi. Dan, ini berarti kesempatan bagi Dewi Samboja untuk
membalas kematian suaminya. Konon, ketika sempat menari bersamanya, Dewi
Samboja mewujudkan niatnya, sehingga perkelahian pun tidak dapat dihindari.
Perkelahian itu baru berakhir ketika Dewi Samboja dapat
membunuhnya.
Versi
keempat mirip dengan versi ketiga, hanya jalan ceritanya yang berbeda. Dalam
versi ini perkawinan antara Dewi Siti Samboja dan Raden Anggalarang, putra
Prabu Haur Kuning dari Kerajaan Galuh, tidak. direstui oleh ayahnya. Untuk itu,
pasangan suami-isteri tersebut mendirikan kerajaan di Pananjung, yaitu daerah
yang kini merupakan Cagar Alam Pananjung di obyek wisataPangandaran. Suatu saat kerajaan tersebut diserang oleh
para perompak yang dipimpin oleh Kalasamudra, sehingga terjadi pertempuran.
Namun, karena pertempuran tidak seimbang, akhirnya Raden Anggalarang gugur.
Akan tetapi, istrinya, Dewi Siti Samboja, berhasil menyelamatkan diri.dan
mengembara. Dalam pengembaraannya yang penuh dengan penderitaan, sang Dewi
akhirnya menerima wangsit agar namanya diganti menjadi Dewi Rengganis dan
menyamar sebagai ronggeng. Di tengah kepedihan hatinya yang tidak terperikan
karena ditinggal suaminya, Dewi Rengganis berkelana dari satu tempat ke tempat
lainnya. Tanpa terasa, gunung-gunung telah didaki dan lembah-lembah dituruni.
Namun, di matanya masih terbayang Mengetahui orang yang dijadikan tumpuan
hidupnya telah dibunuh para perompak dan kemudian mayatnya diarak lalu dibuang
ke Samudera Hindia. Kepedihan itu diungkapkan dalam lagu yang berjudul
“Manangis”. Berikut ini adalah syairnya
Pemain, Peralatan, dan Pergelaran
Orang-orang yang tergabung dalam kelompok kesenian Ronggeng
Gunung biasanya terdiri dari enam sampai sepuluh orang. Namun demikian, dapat
pula terjadi tukar-menukar atau meminjam pemain dari kelompok lain. Biasanya
peminjaman pemain terjadi untuk memperoleh pesinden lalugu, yaitu perempuan
yang sudah berumur agak lanjut, tetapi mempunyai kemampuan yang sangat
mengagumkan dalam hal tarik suara. Dia bertugas membawakan lagu-lagu tertentu
yang tidak dapat dibawakan oleh pesinden biasa. Sedangkan, peralatan musik yang
digunakan untuk mengiringi tari Ronggeng Gunung adalah tiga buah ketuk, gong
dan kendang.
Sebagai catatan, untuk menjadi seorang ronggeng pada zaman dahulu memang tidak semudah sekarang. Beberapa syarat yang harus dipenuhi antara lain bentuk badan bagus, dapat melakukan puasa 40 hari yang setiap berbuka puasa hanya diperkenankan makan pisang raja dua buah, latihan nafas untuk memperbaiki suara, fisik dan juga rohani yang dibimbing oleh ahlinya. Dan, yang umum berlaku, seorang ronggeng harus tidak terikat perkawinan. Oleh karena itu, seorang penari ronggeng harus seorang gadis atau janda.
Sebagai catatan, untuk menjadi seorang ronggeng pada zaman dahulu memang tidak semudah sekarang. Beberapa syarat yang harus dipenuhi antara lain bentuk badan bagus, dapat melakukan puasa 40 hari yang setiap berbuka puasa hanya diperkenankan makan pisang raja dua buah, latihan nafas untuk memperbaiki suara, fisik dan juga rohani yang dibimbing oleh ahlinya. Dan, yang umum berlaku, seorang ronggeng harus tidak terikat perkawinan. Oleh karena itu, seorang penari ronggeng harus seorang gadis atau janda.
Tari Ronggeng Gunung bisa digelar di halaman rumah pada saat
ada acara perkawinan, khitanan atau bahkan di huma (ladang), misalnya ketika
dibutuhkan untuk upacara membajak atau menanam padi ladang. Durasi sebuah
pementasan Ronggeng Gunung biasanya memakan waktu cukup lama, kadang-kadang
baru selesai menjelang subuh.
Komentar
Posting Komentar