SEJARAH TARI
BEDHAYA KETAWANG
Tari
Bedhaya Ketawang merupakan tarian sakral yang tertua (Nusjirwan, 1967: 31) Tari
Bedhaya Ketawang merupakan pusaka kraton Kasunanan yang konon dicipta oleh
Sultan Agung (Soedarsono, 1991: 37-38). Pertunjukan Bedhaya Ketawang
diselenggarakan pada upacara Penobatan raja atau pada saat Tingalan Jumenengan
Dalem (ulang tahun penobatan raja). Pada saat ini kraton Surakarta
menyelenggarakan pertunjukan Bedhaya Ketawang dalam setahun sekali, yaitu pada
hari kedua bulan Ruwah. Tanggal ini merupakan tanggal ketika Susuhunan Paku
Buwana XII naik tahta.
Upacara
Tingalan Jumenengan Dalem ini sifatnya agak tertutup dan pribadi. Tempat
pelaksanaannya di pendapa Sasanasewaka dan para putri duduk di dalam
Prabasuyasa. Berhubung sifatnya yang pribadi itu, maka sesudah upacara resmi
berakhir residen dan para tamu undangan lainnya segera meninggalkan tempat
pasamuan, sehingga tarian Bedhaya Ketawang itu hanya disaksikan oleh Sunan
bersama keluarga, kerabat, dan para abda dalem saja.
Tari Bedhaya
Ketawang adalah salah satu tari putri gaya Surakarta yang ditarikan oleh
sembilan penari. Masing-masing penari mempunyai jabatan. Yaitu : batak, gulu,
dhadha, buncit, apit ngarep, apit mburi, apit meneng, endhel ajeg dan endhel
weton (babagan hawa sanga atau sembilan nafsu manusia). Latihannya pun pada
hari tertentu. Yaitu hari Selasa Kliwon (sesuai penanggalan Jawa). Setiap
latihan, harus ada penari cadangan. Karena saat hari H, jika ada penari yang
haid tidak diperkenankan menari. Sehingga penari cadangan tersebut bisa
menggantikannya.
Selain
itu Bedhaya Ketawang juga merupakan simbol kesuburan. Hal itu terlihat pada
kostum dodot ageng warna hijau yang merupakan warna favorit Kanjeng Ratu Kidul
dengan motif alas-alasan. Tari Bedhaya Ketawang menceritakan percintaan antara
Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kidul.
SIMBOL JUMLAH
PENARI
Tari
Bedhaya Ketawang yang dilakukan oleh Sembilan orang penari banyak mengandung
makna simbolis yang selalu terkait dengan pandangan filsafat masyarakat yang mendukungnya.
Maka dapat dikatakan bahwa dalam tari Bedhaya Ketawang ada keterkaitan dengan
kultur zamannya. Jumlah Sembilan yang dipilih adalah jumlah bilangan terbesar
menurut pandangan orang Jawa. Hal ini selalu dikaitkan dengan perwujudan
makrokosmos, sehingga jumlah bilangan penari pada tarian Bedhaya Ketawang
merupakan perwujudan makrokosmos dan mikrokosmos.
Hal
ini tidak terlepas pada kepercayaan masyarakat Jawa di masa itu yang meyakini
tentang kesejajaran jagat raya yaitu dunia manusia. Menurut kepercayaan ini,
manusia senantiasa berada pada penjuru mata angin, bintang-bintang dan planet.
Jumlah Sembilan penari pada tari Bedhaya Ketawang merupakan simbol mikrokosmos
(jagat raya) yang ditandai dengan sembilan arah mata angin yaitu : tengah
(sebagai poros), utara, selatan, timur, barat, timur laut, barat laut,
tenggara, dan barat daya. Dalam kitab Wedhapariksama dijelaskan bahwa sembilan
arah mata angin dilambangkan dengan bentuk cakra dengan pusat lingkaran di
tengah. Kesembilan arah itu disebut nawa-dhara atau sembilan jenis sikap. Dari
nawa-dhara lahirlah sembilan jenis sakti yang disebut nawa-natha (sembilan
penari).
Selain
itu jumlah sembilan tersebut juga merupakan simbol alam semesta dengan segala
isinya yang mencakup : bintang, bulan, matahari, angkasa (langit), bumi
(tanah), air, api, angin, dan makhluk yang ada di dunia.
Dalam
tari Bedhaya Ketawang, jumlah sembilan penari masing-masing mempunyai peran
sebagai : batak, endhel, ajeg, gulu,
dhadha, apit ngarep, apit mburi, apit meneng, endhel, endhel weton dan bucit.
Makna dan latar belakang penyusunan tari Bedhaya Ketawang berkaitan dengan
nilai kaum ningrat, bertitik tolak dari simbol kehidupan religo-magis
Hindu-Jawa seperti uraian berikut ini.
Makna
simbolik dalam tari Bedhaya Ketawang yang disebut makna simbolik nilai dualisme
dapat dilihat dan dihayati pada bentuk kemanunggalan antar batak dan endel ajeg
dalam hubungannya dengan Rwa-Binedha (Proyek Sarana Budaya Bali,
1975/1976:60-61). Pada formasi perangan, endhel ajeg dan batak memegang peran
utama, sedangkan ketujuh penari lainnya berperan sebagai penari kelompok. Dalam
formasi peranan ini dilukiskan bahwa endhel ajeg berusaha menaklukan batak,
tapi tidak ada satupun yang menang atau kalah. Makna yang bisa diambil dari
adegan ini adalah figur permusuhan atau dalam istilah Jawa dikenal dengan
loro-loroning atunggal. Akan tetapi loro-loroning atunggal ini senantiasa
diawali dengan proses yang melambangkan percintaan.
Di
dalam tari Bedhaya Ketawang yang menunjukan suatu kaitan dengan sifat Rwa-Bineda
secara jelas menunjukan adanya hubungan dengan berlangsungnya upacara-upacara
kesuburan. Ini sesuai denga tema tari ini yang melambangkan kesuburan yaitu
menggambarkan hubungan seksual antara panembahan Senopati beserta keturunannya
dengan Kanjeng Ratu Kencana Sari, yang ditransformasikan dengan gerak gerak
percintaan yang halus secara abstrak.
Kembali
kepada penari yang berjumlah Sembilan yang merupakan symbol makrokosmos
(jagading manungsa) ditandai dengan adanya Sembilan lubang yang ada pada manusia
(lubang hawa nafsu) yaitu : dua mata, dua lubang hidung, dua lubang telinga,
satu mulut, satu anus, dan satu organ seks. Semua terwakili dalam peran penari
Bedhaya Ketawang masing-masing : penari batak sebagai kepala atau akal, penari
endhel ajeg sebagai semua nafsu dan keinginan hati, penari jangga mewujudkan
bagian leher, penari dhadha menunjukan bagian dada, penari apit ngarep
muwujudkan bagian lengan kanan, penari apit mburi mewujudkan bagian lengan
kiri, penari endhel waton mewujudkan bagian organ seks,
Tari
bedhaya ketawang mengenakan dodot ageung bangun tulak sebagai salah satu
cirinya. Bentuk dodot bangun tulak ini merupakan perwujudan kesadaran akan
perlindungan. Ini tampak dengan warna khas pakaian dodot bangun tulak yaitu
hijau biru tua dengan warna putih merupakan symbol daya hidup, berkembangnya
hidup dari kuasa Tuhan, merupakan sinar putih sebagai asal mula hidup. Warna
biru merupakan simbol keluhuran budi, arif bijaksana, waspada, keimanan,
keteguhan hati dalam perjuangan dan pengabdian. Motif alas-alasan merupakan
perwujudan dengan Tuhan. (Haryonagoro, 5 Oktober 2001 ).
KOSTUM DAN
TATA RIAS TARI BEDHAYA KETAWANG
Sajian
tari Bedhaya Ketawang selain menampilkan keindahan susunan tarinya diperindah
lagi oleh tata busana dan tata rias sebagai salah satu medium bantunya. Bentuk
busana dodot bangun tulak serta rias wajah dengan paes (rias pengantin Jawa
putri) adalah salah satu cirri dari Bedhaya Ketawang.
Tata
rias dan busana tari ini dibedakan menjadi dua yaitu kirab (gladi resik) yakni
latihan terakhir dengan pengawasan raja yang telah duduk di dhampar kencana dan
pada saat upacara jumenengan raja atau tinggalan jumenengan raja. Pada saat
kirab para penari berhias wajah tipis dan sangat sederhana tetapi telah dikerik
( rambut bagian depan dibentuk paes ) dengan sanggul ageng bangun tulak, mereka
mengenakan sampur putih tidak menggunakan slepe (sabut untuk menari), kain
samparan bermotif parang klithik, dengan perhiasan hanya subang.
Tata
rias dan busana pada saat pagelaran para penari dirias seperti pengantin jawa.
Gambar paes terdiri dari empat bagian, yaitu : gajah, pangapit, panitis, dan
godheg. Yang disebut gajah berbentuk seperti potongan telur itik bagian ujung
letaknya di tengah dahi. Gajah ini melambangkan tuhan yang maha kuasa karena bentuknya
paling besar. Gambar pangapit terletak dikanan kiri gajah, berbentuk kuncup
bunga kanthil (cempaka) yang melambangkan wanita. Sedangkan panitis berjumlah
dua, terletak kiri pangapit kiri dan kanan pangapit kanan, berbentuk seperti
potongan telur ayam bagian ujung. Panitis ini merupakan perlambang pria yang
bertugas menurunkan benih. Godheg berjumlah dua, berbentuk kuncup kuncup
bungaturi terletak di depan kedua telinga. Godheg melambangkan cita-cita
perkawinan atau bersatunya pria dan wanita, yang diharapkan dapat memberikan
keturunan. (Koes Sri Hartati, 18 Oktober 2001). Dengan demikian paes tari
Bedhaya Ketawang mempunyai makna kesuburan dibawah kekuasaan tuhan.
Ujung
gajah, pangapit, dan panitis mengarah kesatu titik yaitu ujung hidung. Ini
merupakan tuntunan bersemedi serta tunduknya manusia yang sedang mengheningkan
cipta untuk pendekatan kepada tuhan. Maka tari ini bisa dikatakan sebagai
sarana pendekatan kepada tuhan (sangkan paraning dumadi). Banyaknya makna
simbolik yang memang sulit dipisah dalam tari Bedhaya Ketawang dan sangat
kompleks. Maka masyarakat Jawa khususnya Surakarta masih meyakini kesakralan
tari Bedhaya Ketawang.
Rambut
disanggul berbentuk bokor mengkureb ditutup dengan bunga melati sebagai rajut
yang berbentuk kawungan. Bentuk bokor sebagai wadah yang masih kosong, sedang
bunga melati menggambarkan kesucian. Ini menyatakan bahwa penari Bedhaya harus
masih gadis dan suci. Bunga melati yang berbentuk kawungan melambangkan
menyatunya kawula ian gusti dalam suatu wadah.(Kebadayaan Jawi keraton
Surakarta : 19). Bunga tiba dhadha berbentuk kawungan dikenakan pada sanggul
bagian kanan terjuntai melewati dada sebelah kanan sampai tengah paha.
Para
penari Bedhaya Ketawang pada waktu pentas mengenakan dodot ageng bangun talak
(hitam putih) ini bermakna penolakan makhluk kasar ataupun halus . kain cindhe
merah bermotif cakar mempunyai makna penghematan, yaitu manusia dituntut harus
selalu hemat dan bekerja. Sampur cindhe merah bermotif cakar sebagai pengikat
pinggang agar para penari dapat mengendalikan diri dengan ikatan yang kuat.
Kelat bahu terbuat dari swasa (perak dicampur tembaga) dikenakan pada lengan
atas kiri dan kanan sebagai tanda bahwa pemakainya masih gadis. Slepe berwarna
kuning dan thothok (tempat mengaitkan slepe ) untuk menambah keindahan warna
busana.
Perhiasan
yang dikenakan kecantikan para penari antara lain : cundhuk mentul (bunga
goyang) berjumlah Sembilan, garudha mungkur terbuat dari swasa bertabur intan,
dipasang dibawah sanggul bokor mengkureb. Giwang berbentuk wulan tumanggal
(bulan sabit) merupakan lambang murah sandang pangan. Selain itu dikenakan
gelang, cincin, bros untuk menambah keindahan busana (Yosodipuro,tt : 24).
Hiasan
buntal yang dilingkarkan pada panggul penari dari daun kroton, bunga kenikir
atau biasa disebut dewa-ndaru, daun beringin sengkeran dari pohon yang dikurung
di alun-alun yang biasa dipakai untuk menghias kembang mayang pengantin. Pohon
beringin ini disebut Kalpataru dan
Dewantaru yang mempunyai makna kesuburan yang abadi membawa
kesejahteraan dan ketentraman masyarakat Jawa. (Siti Suharti, 18 Oktober 1993).
Dan semakin jelas apabila tari Bedhaya Ketawang sangat kesakralannya.
Komentar
Posting Komentar